Gara-gara SMS, Luka Goresan Jadi Heboh


Saat ini di mana-mana kemajuan teknologi membuat orang bisa lupa diri dan hilang kontrol dalam pengunaannya. Kita contohkan saja, seorang anak yang diberikan sepeda motor oleh bapaknya. Padahal ia masih terlalu kecil. Kakinya saja belum sampai ke tanah kalau sepeda motor sedang didirikan. Apalagi umurnya belum cukup, sehingga tidakbisa mengurus SIM. Ada juga seorang anak yang diberikan perhiasan berlebihan oleh orang tuanya. Padahal ia sama sekali tidak tahu apa arti perhiasan tersebut. Alih-alih membuatnya tampil lebih cantik, lebih ganteng, malah ia menjadi sasaran perampokan. Akhirnya orang tua juga yang menanggung masalah.

Nah, beberapa tahun terakhir, saat teknologi HP masuk ke Indonesia sampai ke desa-desa, anak-anak juga mulai diberikan HP oleh orang tuanya. Berbagai macam alasan yang melatari pemberian HP tersebut. Sebagian beranggapan kalau anak punya HP ia mudah dideteksi, ia mudah menghubungi kapan ia mau, si anak juga tidak kehilangan komunikasi dengan teman-temannya. Bahkan kalau ada PR si anak bisa minta bantu temannya kalau ada hal yang ia tidak pahami. Semua alasan pembenaran tersebut sah-sah saja, tidak ada masalah.

Namun, di balik itu semua, fakta di lapangan berbicara lain. Seorang anak bukan hanya dibekali dengan HP untuk sekedar alat komunikasi dan telekomunikasi dengan orang tua dan teman-temannya. Saat ini seorang anak menjadikan HP sebagai sebuah gengsi, gaya, dan bahkan sebagai status sosial dirinya. Seorang anak yang punya HP lebih bagus akan dianggap lebih baik pula olah temannya. Seorang anak belum mampu membedakan mana yang dimensi fungsi atau kegunaan HP, mana pula peran HP sebagai gaya. Bagi mereka semakin bagus sebuah HP yang diukur dengan berbagai fasilitasnya, maka semakin hebat, keren, bergaya pula pemiliknya. Dan bagi si pemilik HP ini pula yang dia inginkan, dipandang hebat oleh teman-temannya.

Dampak lain apa? HP dengan berbagai fasilitas yang hebat tersebut menjadikan dia anak lebih gaul dari seharusnya. Ia lebih dewasa dari usianya. Bahkan ia lebih tahu informasi tertentu dibandingkan orangtuanya. Contoh kasus adalah beredarnya foto-foto porno dan blue film di HP anak-anak usia SD. Hal ini terjadi karena mereka memiliki media yang mungkin untuk mendapatkan dan menyebarkan itu. Apalagi HP dengan fasilitas yang dapat melakukan browsing internet dan kapasitas untuk menyimpan ratusan foto di dalamnya. Seorang anak yang sedikit paham dengan Google misalnya, baik diperoleh dari guru atau diajarkan temannya, akan sangat mudah mendapatkan foto-foto gadis bugil di sana. Hanya dengan sebuah kata kunci di search engine mereka akan mendapatkannya.

Bukan hanya itu, dengan HP bisa menjadikan hal-hal yang kecil menjadi besar, hal sederhana menjadi rumit, masalah yang mudah menjadi susah, perkara kecil menjadi besar dan melibatkan banyak pihak. Sebab HP adalah komunikasi yang tidak dapat menjelaskan keseluruhan dari masalah yang sebenarnya. Saat kita mengirimkan SMS atau menelpon lalu menceritakan apa yang terjadi nisacaya tidak akan sanggup menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Nah, bagian yang remang-remang inilah yang ditafsirkan oleh penerima informasi lalu mereka mengambil keputusan dari penafsiran mereka sendiri.

Salah satunya adalah apa yang dialami tetangga saya minggu lalu. Anak perempuannya yang masih sekolah di kelas satu SD mengiriminya SMS mengatakan kalau ia dilukai temannya dengan pisau. Ia sangat kaget, apalagi itu adalah anak satu-satunya. Saat itu ia menelpon anaknya dan mengatakan ia akan segera menuju ke sekolah dan membawanya ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba saat itu ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sama sekali tidak bisa tinggalkan. Karenanya ia menghubungi istrinya di rumah.

Istrinya sangat terkejut mendengar berita ini. Apalagi teman saya ini hanya mengabari kalau putri mereka dilukai temannya dengan pisau dan mengeluarkan darah. Dalam benak si istri, anak mereka telah terkapar dengan darah yang mengalir keluar. Ia kalang kabut. Karena tidak bisa bawa kenderaan ia menelpon adiknya yang saat itu ada di kampus. Ia mengatakan kalau si adik harus segera pulang untuk mengantarkannya ke sekolah melihat anaknya. Si adik yang patuh ini segera pulang dari kampus dan meninggalkan jam kuliah yang padahal baru saja hendak dimulai. Ia menghubugi keluarga besarnya mengabarkan kalau kemenakannya terluka parah di sekolah. Keluarga mereka bertindak cepat, pergi ke Instalasi Gawat Darurat rumah sakit umum untuk mempersiapkan segalanya dan mengatasi segala kemungkinan, termasuk memastikan apakah ada dokter jaga. Sementara si adik dan ibu dari si anak langsung menuju sekolah.

Sesampai di sekolah si ibu melihat putrinya sedang berlarian saling kejar-kejaran dengan teman-temannya yang lain. Belum puas dengan pemandangan itu ia memanggil putrinya dan menanyakan apanya yang terluka. Si putri menunjukkan sebuah goresan satu senti meter di lengannya yang sangat kabur. Katanya tadi digores oleh temannya.

Bagitulah, jika alat komunikasi dipakai dengan cara tidak benar. Dari yang seharusnya memudahkan, ia malah menjadi yang menyusahkan. Dari yang semestinya meringankan, ia malah menjadi memberatkan. Dari yang pada dasarnya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. Jadi hati-hatilah dengan teknologi. Pakailah ia pada tempatnya dan sewajarnya saja.(KOMPASIANA/Sehat Ihsan Shadiqin)

Artikel ini telah ditayangkan sebelumnya di jejaring blog Kompasiana.