Legitimasi Mbah Maridjan, SBY, dan Sri Sultan



Dalam ilmu politik dikenal istilah kekuasaan (power) dan pengaruh (influence). Secara politik, baik Presiden SBY dan Sri Sultan sama-sama punya kekuasaan yang jauh lebih luas dan kuat dibadingkan seorang Mbah Maridjan. Dalam tatanan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia maupun Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta, Mbah Maridjan bukanlah siap-siapa.

Kakek berusia 83 tahun yang ditemukan wafat dalam keadaan bersujud di rumahnya Rabu (27/10) sekitar pukul 05.00 itu seperti rakyat kebanyakan. Dia tinggal di rumah sederhana di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, yang berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi.

Dalam struktur Keraton Yogyakarta, misalnya, Mbah Maridjan hanyalah salah seorang abdi dalem. Gelarnya, Mas Penewu Surakso Hargo, bukanlah gelar yang mencerminkan strata ningrat seorang pejabat keraton.

Namun, secara realpolitik, Mbah Maridjan memiliki pengaruh yang lebih powerful. Itu jelas terlihat dalam kasus Gunung Merapi. Bahkan hingga gunung berapi aktif itu memuntahkan wedhus gembel, awan panas bergulung-gulung nan mematikan mirip bulu biri-biri, masih banyak warga yang tidak menggubris suara penguasa tampuk politik.

Entah sudah berapa pejabat pusat dan daerah, termasuk Sri Sultan, yang menyerukan agar warga lereng Merapi turun gunung setiap kali gunung berapi itu menunjukkan aktivitasnya menjelang erupsi. Tetapi, banyak warga yang tetap bergeming di desa mereka di seputar lereng Merapi. Mereka seperti tidak menghiraukan bahaya yang digembor-gemborkan berbagai pejabat itu.

Sebaliknya, warga sekitar lereng memilih bertahan sebagaimana Mbah Maridjan melakukannya setiap kali gunung magis dalam kultur Jawa itu menunjukkan aktivitasnya. Warga memilih ikut bertahan sebagaimana Mbah Maridjan tetap bertahan di rumahnya. Mbah Maridjan memang tidak (perlu) menyerukan warga sekitar untuk bertahan. Tetapi, banyak pihak, termasuk Sri Sultan dan para petinggi negeri hingga masyarakat awam, yakin betul bahwa tindakan warga lereng Merapi itu sebagai bentuk kepatuhan pada si Mbah itu.

Nah, di situlah kita bisa melihat kuatnya pengaruh Mbah Maridjan yang kekuatannya melebihi power yang digenggam para penguasa ranah politik. Pengaruh itu jauh melampaui legitimasi pejabat institusi vulkanologi dan instansi pemerintah lainnya, Sri Sultan bahkan presiden sekalipun.

Pengaruh dan wibawalah yang menjadikan Mbah Maridjan sebagai figur otoritatif tanpa harus memerintah atau memegang kuasa pemerintahan sekalipun. Mbah Maridjan menang tanpa bala (pasukan).

Tentu saja pengaruh Mbah Maridjan yang luar biasa itu tidak didapatnya secara instan. Dia menebar dan memupuknya dalam rentang waktu lama dengan proses alami, tanpa rekayasa. Dia tidak perlu tim sukses untuk meraih pengaruh itu. Kekuatan pengaruh Mbah Maridjan itu berasal keteladanan dan sikap amanah dalam menjalani hidup, dalam memikul tanggung jawab.

Karena sudah saguh, yo kudhu lungguh sing kukuh ora mingkuh (karena sudah menyanggupi mengemban tugas dan memikul tanggung jawab, ya harus teguh memegang posisi itu, bukan menyingkir meninggalkannya), kata Mbah Maridjan.

Itulah prinsip yang dipegang teguh Mbah Maridjan sejak dinobatkan menjadi Juru Kunci Merapi oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX pada Maret 1983 hingga akhir hayatnya. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok yang juga mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi mengatakan posisi sujud Mbah Maridjan saat wafat mengisyaratkan teguhnya sang juru kunci itu memegang amanah. Dan, amanah itu dia pegang teguh dengan penuh ikhlas semata-mata mengharap ridho-Nya.

Setiap Merapi bergolak, Mbah Maridjan enggan lari meninggalkan gelanggang tanggung jawabnya sebagai Juru Kunci Penjaga Merapi. Dia layaknya kapten kapal yang hampir karam tetapi tidak juga terjun ke sekoci sebelum yakin seluruh penumpang dan awaknya telah terselamatkan.

Mbah Maridjan menjadikan wilayah pengabdiannya itu sebagai arena jihad yang jika ditinggalkan menjadi dosa besar dan aib sosial yang tidak termaafkan. Dan, bagi para mujahidin dan kapten kapal sejati, gugur di medan tugas ialah suatu kehormatan. Bahkan, itulah yang dicarinya. Boleh jadi, Mbah Maridjan bertahan karena dia yakin masih ada warga yang belum diselamatkan.

Kalau saya ikut mengungsi, nanti ditertawakan sama anak ayam, kata Mbah Maridjan.

Mbah Maridjan ialah tipe pemimpin satu kata dan perbuatan. Dia tidak perlu menggembor-gemborkan laku hidup sederhana, jujur, dan amanah dengan jargon-jargon. Dia mempraktikkan sendiri nilai-nilai luhur itu tanpa harus koar-koar mencari popularitas layaknya kebanyakan politisi dan pejabat negeri ini yang suka berlagak bak selebritas. Mbah Maridjan sepi ing pamrih, rame ing gawe alias talk less, do more.